Minggu, 17 Juni 2012

Cerpen 21: Aku Sayang Kamu


Jantungku terasa berdegup kencang. Dia akan segera melintas di depanku.”Wah, bagaimana ya penampilanku? Apakah rambutku masih rapi?” batinku seraya merapikan pakaian dan rambutku secara perlahan. “Hai!” Duh, manisnya senyum yang dia tebarkan, aku sampai tersedot dalam pusaran pesona yang dia tebarkan lewat lesung pipi yang menghias di pipinya. “Hai juga!” sebagai seorang gadis, aku berusaha menahan diriku dari pertanyaan lebih lanjut, padahal aku ingin tahu untuk apa dia ke sekolah sore begini.” Nungguin aku ya?” senyumnya nakal. “Hahhh? Gak kok, gak. Week…dasar cowok narsis.” Wajahku terasa hangat. “masa? Tapi kok jadi malu gitu? Hahahaha…gak kok, becanda. Udah, ayo jalan. Mau rapat OSIS kan?” Abel menarik tanganku untuk berjalan ke ruang rapat.” Eh, tunggu dulu. Yakin amat sih kalo aku mau rapat? Trus tau dari mana kalo aku rapat? Emang kamu rapat juga? Seksi apa?” begitu banyak pertanyaan yang spontan terlempar keluar dari mulutku sedangkan dia hanya menjawab semua pertanyaanku dengan singkat “ nanti kamu juga akan tahu kok, Cyn” lagi-lagi dia tersenyum, mbencekno!

Rapat kali ini ku ikuti dengan tidak konsentrasi sama sekali, padahal aku sekretaris I. Akibatnya aku beberapa kali nampak seperti orang tulalit yang tak dapat merangkai kalimat notulen rapat, sampai teman-teman lain pada melihatku dengan pandangan aneh. Duh, malunya. Semua gara-gara Abel yang ternyata salah satu koordinator acara Pentas seni  SMU kami, jadi kali ini kami rapat bersama lengkap dengan semua koordinator. ”Kenapa aku baru tahu sekarang ya? Duh, kalo tahu sebelumnya kan paling tidak bisa persiapan mental.” Keluhku.

“Ya, rapat hari ini selesai. Kita minta Cynthia tolong tutup dalam doa.” Ketua OSIS mengakhiri rapat hari ini. “Cyn.. Cynthia… Cyn.. Kamu disuruh doa.” Agnes menyenggolku. “Hah?? Oh… Mari kita berdoa.” Cepat-cepat aku mengakhiri lamunanku. “Amin!” terdengar suara yang berbarengan mengakhiri doaku. “Fuih, lalai lagi deh. Malunya…” cepat-cepat aku membereskan berkas rapat dan tasku, lalu segera meninggalkan ruangan rapat. “Aow… Aduh!” langkahku terhenti karena kakiku tersandung kaki meja dan aku malah terjatuh dengan isi tas berhamburan. “Kamu gak pa pa? Sini, kubantu berdiri.” Ada tangan yang diulurkan untuk menolongku berdiri. Sepertinya aku mengenali tangan ini, dan… benar! Ketika aku menatap pemiliknya, dunia seakan berhenti berputar. Aku tenggelam dalam telaga bening yang menentramkan hatiku. Abel! “Kenapa dia yang menolongku? Kenapa aku harus jatuh di depan dia? Gawat!! Gawat!!” Sebelum aku sempat menolak, tangannya sudah terlebih dahulu meraih tanganku dan menariknya perlahan sampai aku mampu berdiri. “Thank you ya!” ucapku pelan. “Never mind! Kamu pulang sendiri? Ayo, kuantar pulang aja.” Dia nampak serius dengan perkataannya. “Oh, Tuhan… Benarkah? Mimpikah ini?” hampir tak percaya aku mendengar ajakannya, dalam hatiku berteriak senang, akan tetapi yang keluar dari mulutku adalah ”Thank you ya, gak pa-pa. aku masih bisa pulang sendiri kok. Nggak enak merepotin kamu.” Aku berbalik dan melangkah meninggalkannya. Dengan pelan aku menyusuri koridor kelas karena kakiku sakit banget, terkilir sepertinya. Jauh dalam hati, aku berharap dia akan mengejarku dan memaksaku ikut dia pulang. Namun, dia hanya diam saja dan tetap berjalan di belakangku. “Udah, jangan banyak berharap. Salah sendiri tadi ditawarin nolak? Mana mungkin dia akan nawarin lagi?” Akhirnya sosoknya menghilang ke dalam mobil CRV hitam yang kemudian melaju meninggalkan lapangan parkir berlawanan arah denganku.

Angkot yang kunaiki merambat pelan dalam kemacetan yang selalu terjadi pada jam pulang kantor seperti ini. Anganku kembali berputar menghadirkan sosok Abel, sosok yang tampan, atletis, tinggi, gentle, smart, supel, benar-benar tidak salah kalau dia menjadi cowok idola di sekolah kami. Hampir setiap wanita normal pasti menyukai tipe cowok seperti ini. rasanya dia terlahir begitu sempurna. Tak terhitung lagi berapa banyak temanku yang menyukainya, mereka selalu berusaha mendekatinya, mengajaknya ngobrol dan keluar bersama. Aku hanya berani memperhatikannya dari jauh, meskipun terkadang dia mendekatiku dan mengajakku ngobrol, namun aku berusaha menjaga perasaan teman-temanku yang juga menyukai dia dan aku tidak ingin orang lain tahu betapa aku sangat mencintainya. Cinta? Ya, aku mencintainya. Sejak awal ketika pertama kali bertemu dengannya, aku sudah terpesona dan mengaguminya. Sampai sekarangpun perasaan itu tetap sama, bahkan makin berkembang. Menyakitkan memang karena aku mencintai orang yang mustahil mencintaiku. Dia tidak mungkin akan jatuh cinta pada gadis sederhana sepertiku, gadis yang tidak terlalu menarik bagi kebanyakan cowok. “Ah, sudahlah. Aku toh sudah janji ma Tuhan akan mencintainya dengan tulus, tanpa mengharapkan apa-apa.” Aku memutus lamunanku karena kulihat angkot sudah mendekati rumahku. “Kiri, pak!”

“Duh, ternyata sakit banget kakiku.” Kuseret langkahku memasuki anak tangga di depan rumahku. Aku tertegun ketika kutemukan ada CRV hitam yang sangat kukenal di halaman rumahku. ”Abel? Ngapain dia di rumahku?” “Hai, Cyn! Tuh kan, kesakitan? Tadi mau diantarin gak mau, akhirnya jadi pincang gitu.” Setengah mengomel dan cemas dia menatap kakiku. “gak pa-pa. besok juga baik. Kamu ngapain di sini? Ada temanmu di dekat sini?” “Iya, aku mau ngunjungin rumah teman.” “Di mana? Jangan-jangan aku kenal. Pasti cewek ya?” sergahku cepat, sekarang bukan saja kakiku yang sakit, tapi hatiku juga pedih. “Iya, cewek. Kamu kenal baik kok.” Jawabannya mengiris hatiku. ”Siapa? Mana alamatnya, no berapa rumahnya?” nadaku menampakkan kekecewaanku. “Jl. Cempedak no 25. Cynthia namanya. Hahahaha. Aku mau main ke rumahmu, boleh gak?” “Dasar! Ditanyain serius malah bercanda. Siapa?” mangkel deh aku karena makin penasaran. “Aku serius kok, gak dipersilakan masuk dulu tah?” tatapnya lembut. “Ayo, masuk.” Setengah heran aku membuka pintu dan mempersilahkannya masuk. ”Ada apa?” Rasa penasaran menyergap relung hatiku. “Cyn… Ini buatmu.” sebuah kado kecil berwarna pink disodorkan padaku, dan ada setangkai bunga mawar putih juga.” Apa ini? Dalam rangka apa? Aku kan gak ulang tahun. ”Tolakku dengan kaget. “Ya, aku tahu kok. Kamu ultah kan 18 Juli. Itu ada kartu, dibuka dan dibaca dulu.” Dengan gemetar aku membaca kata-kata dalam kartu itu ”Cyn.. Today is valentine. And I wan’t you to know that I have been falling in love with you since the first time you smile at me. Would you be my valentine, please? Because you are someone that is so special to me. I love you, Cynthia. From: Abel.”

Aku kehilangan semua kata-kata dan pertanyaan yang tadinya sudah antri di mulutku. “Abel….??” “Aku sayang kamu, Cyn. Belum cukup jelas ya di kartu? I love you, Cyn. Kamu mau gak jadi pacarku?” Bagaikan petir di siang hari, ucapan Abel menghentakkan seluruh saraf dan tubuhku menjadi kaku dan dingin. “Cyn, kamu sayang aku gak?” “Duh,pertanyaan yang gak perlu. Dia gak tahu betapa sayangnya aku pada dia.” keluhku dalam hati. “Ok d, mungkin kamu butuh waktu, aku akan tunggu sampai kamu siap menjawabku. Tapi sekarang boleh gak aku ajak kamu makan di luar? Anggaplah sebagai kado valentine buatku. Aku akan senang sekali kalau kamu mau nemani aku makan. Aku dari pagi belum makan lho, puasa sampai aku bisa utarakan isi hatiku ma kamu hari ini. Kasihan kan kalau aku makan sendiri?” wajahnya jadi memelas dan menggemaskan banget, membuatku segera mengangguk. “Ya, aku juga sayang kamu kok.” Jawabku pelan. “oh ya, wah! T’rima kasih, Cyn.” Abel tersenyum senang. “Oh, Tuhan… T’rima kasih banyak. Akhirnya aku tak lagi harus menyangkali perasaanku karena ternyata dia juga sayang ma aku dan dia memilihku di antara sekian gadis yang menyukainya. T’rima kasih banyak, Tuhan.” Doaku dalam hati. Dengan sayup, kudengar Tuhan berbisik di telingaku” Aku juga sayang kamu, anakku.” “Ya, aku juga sayang kamu, Tuhan.” Sungguh indah sekali bagiku perkataan “AKU SAYANG KAMU”!

Cerpen 20: “Aku sayang kamu, Shandi. Happy Anniversary..”

“Aku gak menyesali keputusanmu untuk sendiri dan memutuskan hubungan ini, karena aku sadar suatu saat nanti kamu akan tau siapa yang benar-benar menyayangimu”

Coretan-coretan yang sama sekali tak pernah tersentuh oleh sosok yang selalu hadir di pikiranku. Ya, memang sosok itu kini bukanlah siapa-siapa dalam hidupku. Dulu, sosok itu nyata, sosok itu hadir, sosok itu menemani, setia, selalu ada. Ya, dulu, dulu dan dulu. Tak bisa ku pungkiri dulu memang indah, bukannya aku tak mau melupakan semuanya, tapi sosok itu sudah terlalu dalam masuk ke hatiku. Ini salah siapa? Salahmu? Tentu saja bukan, mana mungkin aku menyalahkan sosok orang yang sampai sekarang menjadi semangat disetiap nafasku. Ini salahku, salahku yang terlalu sayang, salahku yang terlalu berharap lebih jauh, salahku yang terlalu menginginkan untuk selalu bersamamu. Maaf, aku bukan pelupa yang hebat. Kamu sudah terlalu lama ada disini, dan sampai saat ini belum tercetus niatku untuk melupakan dan membuang semua cerita antara aku dan kamu, dulu.

Kenapa? Kenapa semuanya harus seperti ini? Aku tau, kamu sudah memutuskan semuanya, kamu sudah lupakan semuanya. Tapi, tak begitu denganku. Meskipun aku tau, kamu disana sudah bersama yang lain, bersamanya yang selalu bisa mengembangkan senyummu. Sementara aku, aku masih tetap tegar bersama sifat munafikku. Aku masih berusaha tersenyum dan berpura-pura kalau aku ikut bahagia dalam kebahagiaanmu bersamanya. Tak mengapa bagiku, melihatmu tersenyum bersamanya saja, aku sudah cukup senang. Bagaimana kalau aku yang ada diposisinya sekarang? Kamu bisa bayangkan betapa bahagianya aku.

Ah, kenapa kamu terus mendominasi otakku? Padahal sudah 6 bulan lamanya kamu pergi dan memutuskan semuanya. Rasanya baru kemarin kamu bilang kalau kamu menyayangiku dan menginginkan aku untuk menjadi kekasihmu. Ya, baru kemarin. Andai aku mampu lebih sabar menahan egoismu. Tapi kalau terus menerus aku yang bersabar, bukan cinta namanya. Karena yang kutau cinta itu adalah dua perasaan yang disatukan. Sedangkan kita? Apa pernah kamu menahanku saat aku tengah marah? Jadi, ya kalau dipikir-pikir semuanya lebih baik diputuskan walaupun penyesalan dan rasa rindu itu datang.

“Happy Anniversary 1 tahun ya, sayang”Pesan singkatku yang kutujukan untuk Rena, seorang wanita yang sampai sekarang masih melekat dihatiku. Hari ini, 07 Desember 2009 adalah hari jadiku dengan Rena. Aku masih mengganggap tanggal itu sebagai hari jadi aku dan Rena. Sudah hampir 6 bulan ini, aku merayakan hari jadi kita seorang diri. Ya, mau gimana lagi? Mengharapkanmu? Aku rasa itu mustahil, jangankan merayakannya, membalas pesanku saja kamu sudah enggan. Air mataku menetes kala membaca balasan pesan dari Rena.

“Ada apa lagi sih, Shandi? Kita tuh udah putus, knp lo terus-terusan ngucapin anniv? Pecuma! Gue juga udh ada pengganti lo. Please, lupain gue”

Ya Tuhan, haruskah air mata ini selalu menemani setiap hari jadiku dengannya? Kapan semuanya akan berakhir? Kapan aku akan berhenti mengharapkannya? Kapan aku akan berhenti melupakan hari jadi ini? Aku terlalu lemah untuk melupakan itu, karena itu sudah terlalu dalam masuk ke otakku.
Haruskah aku terus menerus menampakkan senyuman palsu di depannya bersama kekasih barunya? Tanpa pernah kekasihnya tau, aku masih merindukan sosok yang sekarang menjadi kekasihnya. Aku masih merindukan kekasihmu yang dulu menjadi kekasihku.

“Aku gak bisa, Ren. Aku tau semuanya salah aku, tp apa hrs putus? Aku selalu sabar ngadepin sifat kamu yg selalu marah-marah sama aku. Kenapa kamu gak prnh ada usaha sedikit untuk mempertahankan hubungan ini? Aku udh coba untuk lupa, tapi gak bisa. Tolong ajarin aku, bagaimana caranya untuk benci sama kamu, karena kamu cuma ngasih tau aku bagaimana caranya untuk sayang sama kamu”

Rena membalas pesanku.

“Apa yg harus dipertahankan, Shen? Gak ada. Lo sendiri yg blng kalo sifat gue ini kayak anak-anak. Terus kenapa lo skrg malah mohon-mohon untuk kembali seperti dulu? Gak bisa, dan gak akan pernah bisa. Gue udh sama org lain skrg, please pergi dari gue, Shen. Lupain gue”
Aku menangis tersedu-sedu sambil membaca pesan Rena, aku mengurungkan niatku untuk membalasnya. Ku tiup lilin yang masih abadi menempel diatas kue muffin yang tak terlalu besar ini, dulu kita selalu meniup ini berdua. Namun sekarang, aku hanya sendiri. Dan aku sudah terbiasa dengan kondisi ini. Aku lelah menyayangi disatu pihak, aku lelah merindukanmu yang merindukannya. Tapi semua rasa lelah itu perlahan terbayar ketika aku ingat semua kenangan indah yang pernah kita lalui berdua.

***

Sementara itu di tempat yang berbeda...

“Gue nggak tega ngelihat Shandi terus-terusan sms gue ngucapin anniversary disetiap tanggal 7, Yud. Gue gak tega dia nangis..” Rena menceritakan keluh kesahnya kepada sahabatnya, Yudi.
“Dia sayang banget sama lo, Ren. Harusnya lo bisa sadarin itu. Tapi kenapa lo gak balikan sama dia?”
“Gue tau, gue gak baik buat dia, Yud. Dia terlalu baik buat gue..”
“Eh kalo dia terlalu baik buat lo, harusnya lo bisa jadi yang terbaik buat dia!”
“Ya, karena gue sadar gue gak bisa jadi yang terbaik buat dia, makanya gue mundur..”
“Mutusin dia dengan alasan yang biasa aja gitu? Lo nyiksa dia, Ren. Gue ingetin ya, selama masih ada umur, lo gunain sebaik-baiknya. Jangan sampai semuanya terkejar takdir..”
 
Rena terdiam.
 
“Takdir?” gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba saja Raka, kekasih Rena meneleponnya.
“Halo, sayang..”
“Iya, ada apa?”
“Kamu sibuk gak hari ini? Nonton yuk? Ada film bagus loh..”
“Aku gak mood, ngantuk. Mau tidur. Bye..”
“Eh tapi..”
 
Klik.

Nampaknya Rena tengah dirundung kegalauan.  Sebenarnya jauh di lubuk hatinya, Shandi masih ada. Shandi masih berkuasa disana. Tapi sayang, Rena selalu berpikir kalau Shandi adalah sosok lelaki yang tak pantas untuknya. Karena selama dengannya, Shandi sering mengeluh karena sifatnya. Ya, ia pun menyadari kalau sifatnya terlalu egois dan ia kurang bisa menahan emosinya. Dan hanya Shandi lah yang mampu mengendalikan semuanya. Tapi maaf Shandi, aku tak mau melukaimu terlalu dalam. Aku tak mau membuatmu terus menerus bersedih, aku harap kamu akan mengerti. Butuh waktu memang, aku tau kamu mampu melewati waktu itu.

Ini adalah bukan kali pertama Shandi selalu mengucapkan anniversary kepadaku. Setiap tanggal 7, ia selalu mengucapkannya. Walaupun dia sendiri tau, anniversary itu lebih tepatnya disebut “Failed Anniversary” , karena sudah tak ada lagi status hubungan antara kita. Sedih setiap kali membaca smsnya, meskipun aku selalu berpura-pura marah ketika mengetik balasan untuk pesanmu.
***

6 Desember 2011 .

“Happy Anniversary 2 tahun ya, sayang. Semoga kebahagiaan selalu menemani kamu, semoga senyumanmu selalu terukir indah. Aku sayang banget sama kamu. Jaga diri baik-baik ya, Rena”
Rena menyeritkan keningnya. Kemudian menoleh ke arah kalender.
“Hah? Ini kan tanggal 6. Kok Shandi udah ngucapin anniv?”
 
Rena membalas pesan Shandi.

“Skrg tanggal 6, Shen? Kok udh ngucapin anniv?”

Shandi membalas.

“Takut gak sempet aja, aku mau tidur dulu ya. Bye, Rena sayang”

Rena hanya membaca pesan dari Shandi tanpa membalasnya. Hati Rena semakin tak menentu, kenapa? Apa yang tengah terjadi? Kenapa Shandi bertingkah seperti ini? “Ah mungkin Shandi tengah bercanda saja..” gumamnya.

Sementara itu di rumah Shandi..

“Gak tau kenapa aku lagi seneng banget pake kemeja putih ini, Mah..” kata Shandi sambil memamerkan kemeja putih yang baru saja dibelinya.
“Oh iya, tumben banget kamu mau pake kemeja warna putih. Beli dimana, sayang?” tanya mama.
“Tadi beli di mall deket kampus, Mah. Lumayan lagi diskon, gak terlalu mahal. Oh iya, aku juga beli buat mama loh..” Shandi menyerahkan kotak yang isinya gaun untuk mamanya tercinta.
“Wah, bagus sekali. Terima kasih ya, Shandi..” kata mama ketika melihat gaun yang ada di kotak itu.
“Sama-sama, Mah. Di pake loh ya..”

Dua hari ini, Shandi lebih senang mengoleksi benda-benda bewarna putih. Entah apa maksudnya, mamanya pun sedikit bingung. Karena sedari dulu, Shandi tak menyukai warna putih dan lebih menyukai warna-warna yang lebih cerah lainnya.

***

7 Desember  2011

“Mah, Shandi berangkat ke kampus ya. Ini ada uang buat mama, lumayan buat nambah-nambah belanja..” kata Shandi saat hendak sarapan bersama sang mama di meja makan.
“Loh? Kamu dapat uang darimana?”
“Shandi kan kerja sambilan, Mah. Ya, emang sih gak seberapa. Tapi ya itu buat mama...”
“Ya ampun. Gak usah, sayang. Ini buat Shandi  aja disimpen..”
“Gak, pokoknya mama harus terima itu. Please, Mah..” Shandi memohon.
“Iya iya, terima kasih loh sayang. Kamu cepat sana ke kampus, nanti terlambat..”
 
Shandi melirik ke arah jam tangannya dan ternyata benar saja. Ia hampir terlambat, ia pun bergegas  pergi ke kampusnya.

“Shandi berangkat ya, Mah. Baik-baik dirumah..” Shandi mencium kening mamanya.
“Iya, sayang. Hati-hati ya..”

Shandi segera naik ke motornya, lalu menancapkan gas. Sambil bersiul-siul, ia mengendarai motor dengan santainya. Tapi ternyata santainya Shandi di pagi ini bukan awal yang indah untuknya. Saat melintasi jalan raya yang cukup besar, sebuah mobil yang tengah melaju sangat kencang menyerempetnya dan akhirnya Shandi jatuh beserta motor yang menimpa badannya. Naas bersamaan dengan itu, sebuah mobil dari arah yang berlawanan menerjang Shandi beserta motornya. Dan habislah Shandi. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Shandi mati seketika, cardigan putihnya berlumuran darah yang terus menetes dari sekujur tubuhnya. Semua orang mendekatinya lalu membawa Shandi yang sudah tidak bernyawa itu menuju rumah sait terdekat. Beberapa orang lainnya berusaha mencari informasi tentang keluarga Shandi. Salah seorang menemukan handphone Shandi lalu mengecek nomor telepon terakhir yang dihubungi Shandi dan ternyata itu adalah nomor handphone Rena.

“Halo..” terdengar suara Rena.
“Halo, Mbak. Ini yang punya handphone kecelakaan..”
“Hah? Kecelakaan? Dimana?” suara Rena terdengar sangat panik.
“Di jalan Agung Gede, Mbak. Sekarang masnya udah dibawa ke rumah sakit Sejahtera..”
“Oke, saya langsung ke rumah sakit. Mas tolong bawa handphonenya ke rumah sakit ya, terima kasih..”
 
Klik.

Tanpa menunggu waktu lama, Rena langsung mengambil kunci mobilnya lalu segera menuju ke rumah Shandi untuk menjemput mamanya. Dengan panik ia mengendarai motornya dengan kencang. Sesampainya di rumah Shandi.

“Ma, ayo ikut Rena..”
“Loh? Rena? Ada apa? Kok buru-buru?”
“Ayo, Mah! Cepetan! Shandi kecelakaan!”

Mama Shandi diam kemudian air matanya menetes. Rena langsung menarik tangan mama Shandi dan segera memboncengnya. Mama Shandi masih diam dan hanya mampu menangis, Rena mengendarai motornya dengan cepat. Dan kemudian tibalah mereka di depan rumah sakit Sejahtera. Rena langsung menuju ke bagian informasi untuk menanyakan dimana Shandi berada.

“Suster, ada yang baru aja kecelakaan ? Dimana ruangannya?” tanya Rena panik.
“Oh iya, 20 menit yang lalu. Sekarang pasien masih di ruang UGD, bisa langsung ke sana, Mas..” suster menunjukkan letak ruang UGD. Aku menuntun mama Shandi yang terlihat semakin lemas.
“Mama duduk sini dulu ya..” kata Rena lalu menyuruh mama Shandi duduk di depan ruang UGD.
Kemudian datang seorang pemuda.
“Mbak, keluarganya yang kecelakaan ini ya?”
“Iya, Mas. Gimana kabar pacar saya?”
“Masnya masih di dalam, Mbak. Oh iya, ini handphone sama dompet yang tadi saya temukan tergeletak dipinggir jalan..”  katanya sambil menyerahkan dompet dan handphone milik Shandi.
“Terima kasih, Mas..”

Beberapa saat kemudian seorang dokter keluar dari ruangan UGD. Rena langsung menghampirinya.
 
“Dok, gimana keadaan pacar saya? Baik-baik aja kan?”
“Maafkan saya, saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa korban. Namun sayang, kepalanya hancur dan tak bisa diselamatkan lagi. Tabah ya..” kata Dokter sambil menepuk pundak Rena.

Air mata Rena menetes dengan derasnya. Kemudian mama Shandi datang menghampiri.
 
“Gimana Shandi, Ren?”
 
Rena hanya diam, tak mengucap sepatah katapun. Rena hanya menangis, kemudian Dokter berusaha memberitahu kondisi Shandi saat ini kepada mama Shandi.
Kaki Rena seakan lemas seketika, ia terus menerus menanggil nama Shandi, Shandi dan Shandi. Ia pun berlari masuk ke dalam ruang UGD, dan apa yang dilihatnya? Shandi tertidur dengan muka yang sudah hancur. Rena mendekatinya, lalu mencium tangannya. Air mata Rena semakin menjadi-jadi kala ia ingat sehari  yang lalu Shandi telah mengucapkan anniversary terlebih dulu padahal hari ini adalah anniversary mereka. Shandi bilang, ia takut tak akan sempat mengucapkannya hari ini jadi ia ucapkannya sehari sebelumnya.

“Shandi, kenapa harus kayak gini?” gumamnya sambil terus memperhatikan wajah Shandi yang sudah nampak bukanlah Shandi.

Mama Shandi masuk ke ruangan dengan tangis yang menjadi-jadi, ia menciumi pipi Shandi yang nampak sedikit masih utuh. Sepertinya mama Shandi terlihat lebih tegar dibanding Rena. Mama Shandi membiarkan jenazah Shandi dibersihkan di rumah sakit ini.
Siang harinya, jenazah Shandi dimakamkan. Setelah pemakaman, mama Shandi menceritakan semua sifat Shandi yang aneh selama dua hari ini kepada Rena. Dari mulai Shandi yang senang memakai kemeja bewarna putih, lalu tadi pagi Shandi juga sempat memberikan mamanya uang yang tak terlalu banyak.

Kemudian entah kenapa Rena seakan-akan terpanggil untuk masuk ke kamar Shandi. Dan ternyata kamar Shandi sudah di dominasi oleh warna putih, warna yang sebenarnya bukanlah warna kesukaan Shandi. Foto-fotonya bersama Rena masih terpampang rapi di dinding kamarnya. Rena tak kuasa menahan tangis, ia menangis sejadi-jadinya sambil terus menyesalkan perbuatannya selama ini. kenapa? Kenapa aku harus kehilangan sosok orang yang ternyata benar-benar mencintaiku? Dan kenapa disaat semua ini terungkap, aku hanya mampu menatap fotonya. Aku hanya mampu menatap tubuhnya yang sudah terbujur kaku dan sekarang telah kembali kepada Tuhan.

Raka, kekasih Rena sepertinya mengerti perasaan Rena saat ini. Raka pun tak lagi memaksa Rena untuk selalu menemaninya, bahkan ia tak akan memaksa Rena untuk menyayanginya lagi. Karena ia sadar gadis yang dicintai Rena hanyalah Shandi dan bukan dirinya.

Malamnya, Rena duduk di depan rumahnya sambil terus memperhatikan foto Shandi.
 
“Aku sayang kamu, Shandi. Happy Anniversary..” 


Sabtu, 16 Juni 2012

Hari Pertama :)


Kalo kalian cewek, pasti punya cerita masing-masing dengan kejadian 'Hari Pertama' ini.

Ssst, bukan, bukan 'Hari Pertama' itu. kalo yang itu sih di Bloger dewasa aja nulis-nya. tapi karena gue juga belum dewasa, jadi yang kita bicarakan adalah 'Hari Pertama' saat pertama kali terjadi-nya Menstruasi. upssss....

*nengok kanan-kiri, yes, gue sendirian.
 "ini mungkin karena gue lagi dapet kali ya, jadi pas pertama buka Blog, yang mau gue tulis tentang ini" ngomong sambil bisik-bisik. Tapi yang ad ague lupa mau posting. Hahaha

eh tapi ini WARNING ya, jangan baca ini pas lo lagi makan! gue dah kasih tau ya, gue gak nanggung ya kalo terjadi apa-apa, pokonya gue udah kasih tau!

Gue inget banget 'Hari Pertama', saat pertama kali terjadinya *itu (baca: Menstruasi), pas hari Minggu. Kalo hari Minggu, biasanya kan waktu gue bangun siang dan hari dimana gue jadi Tuan Putri yang kerjaannya nongkrong di depan TV, nonton film kartun.

Pas jamannya gue jadi anak kecil yang suka ngisep jempol sambil megangin udel, hari Minggu adalah surga-nya film kartun. Biasanya kalo udah hari Minggu,  gue bangun jam 7 pagi. dan itu pun bangun dengan muka berseri-seri soalnya gak pake di seret-seret bangunnya.

kalo hari sekolah, gue selalu bangun jam 5 pagi dan selalu ada bonyokan di muka. ini biasanya di lakukan sama nyokap gue. entah dia nyubit pipi gue, lempar gayung dan kena pipi gue, atau jewer pipi gue supaya bangun. *dan ini mungkin asal muasal kenapa pipi gue kaya bakpao!

sampai disitu, lanjut cerita...
pas lagi asik-asiknya nonton film kartun, tiba-tiba perut gue mules melilit. mau BAB, tapi karena fim-nya saat itu Doraemon yang sebentar lagi mau ngeluarin alat canggihnya dari kantong ajaib, jadi rada gue tahan.
sampe akhirnya iklan, ternyata perut mules gue udah gak terasa lagi. dan selang beberapa lama kemudian, tiba-tiba datang lah hasrat mau pipis.

 langsung aja gue lari ke kamar mandi.
*kebiasaan buruk dijaman dlu : buka celana didepan pintu kamar mandi.
setelah masuk ke dalam kamar mandi, dan pipis, tiba-tiba nyokap gue teriak dari depan pintu kamar mandi, "ya Alloh teteh, udah gede masih cepirit aja!!"

saat itu posisi gue masih ada diatas toilet, kemudian tanpa di mulai dengan aba-aba, gue meraba bagian belakang. "ah masa pup di celana? kok gak kerasa sih?"
gue masih diem dan mikir. emang sih tadi kan sempet mules banget perutnya, tapi gak sampe keluar kok. soalnya mulesnya juga cuma sebentar. tapi beneran deh gak boong, pup-nya gak keluar! "ah, engga kok, teteh gak pup di celana!" kata gue masih di dalem kamar mandi.

sambil takut-takut gue keluar dari kamar mandi. celana dan dalemannya ada ditangan nyokap, dia angkat tinggi-tinggi celana + dalemannya ke depan muka gue.
"nih apa kalo bukan pup di celana?"
kaget setengah mati ngeliat bercak noda coklat yang ada di tengah-tengah.
"ih beneran kok ma, teteh gak pup di celana?"
"terus siapa yang pup di celana kamu kalo bukan kamu? ali?" (*nyokap gue langsung nengok ke ade sepupu gue yang waktu itu masih culun banget - mungkin ampe sekarang culunnya)

ade sepupu gue yang sok culun itu langsung pasang muka tambah-tambah culun, "gak kok bukan nde wa."
jadi sekarang tersangkanya cuma ada gue. dan gak mungkin gue jawab, "mama kali tuh!"
sempat diam sebentar, karena emang gue gak ngerasa juga kalo gue sudah melakukan tindakan memalukan itu. tiba-tiba nyokap gue ngendus-ngendus di dekat celana gue itu.

dalam hati, "ih mama jorok, gue aja gak mau nyium celana hasil karya gue sendiri!"
abis itu mama ngeliatin putri cantiknya. muka-nya gak semarah yang tadi. sambil bingung gue liatin juga nyokap gue. dan kita saling pandang-pandangan, *ceeeh... dan dalam hati lagi gue bilang, "ma, balikin celana teteh, teteh masih belum pake celana!"

habis main pandang-pandangan, tiba-tiba nyokap gue ngomong, "kamu udah mandi?"
"yah, kena omel lagi deh gue nih!" kata gue dalam hati. gue geleng-geleng lemes, "belom ma."
dan dalam pikiran gue, acara selanjutnya adalah 'Omelan Mama di Hari Minggu karena gue Cepirit, ditambah belom mandi!'. hancur lah Minggu gue.. HANCUUUURRRRR!!!

tapi gak tau-nya yang keluar dari mulut mama, bukannya Omelan malah, "ya udah sana kamu mandi."
"ada apa dengan mama?"
dulu itu, nyokap gue galak banget, gue sering banget takut sama nyokap gue. kalo udah marah, biasanya gue kabur ke kolong tempat tidur buat berlindung. makanya dulu mama punya predikat "radio rusak". kalo udah marah, gak bisa berhenti, dan seringnya gue juga gak tau apa yang di omongin nyokap gue pas dia lagi ngomel.

sebelum berubah pikirannya nyokap gue, gue langsung lari sekenceng-kencengnya buat ngambil handuk ke kamar, dan langsung mandi. gak peduli deh dengan film doraemon-nya, mau dia berubah jadi dinosaurus kek, atau nobitanya mati di telen Giant kek. beneran gak peduli! pokoknya gue harus menyelematkan diri gue secepatnya!

setelah mandi, nyokap gue keluar dari kamar gue sambil ngomong, "pake celana-nya, udah mama siapin."
apalagi nih? masa nyokap gue tiba-tiba nyiapin celana yang bakal gue pake?
dulu sih gitu, tapi kan terakhir kali gue disiapin baju n celana-nya sama nyokap, pas umur gue masih 8 tahun. dan saat itu, gue udah masuk SMP.

masuklah gue ke kamar, dan menyaksikan suatu yang janggal yang ada diatas tempat tidur gue. disana ada daleman celana gue + sesuatu yang tebal berwarna putih. kalo setau gue itu yang namanya softex. sambil berpikir keras dalam hati gue ngomong, "parah banget mama, gue di pakein softex? supaya gue gak pup di celana lagi maksudnya? ya Ampuuuun!"

akhirnya masih dengan balutan handuk di badan, gue keluar nyari nyokap.
"mama, maksudnya apaan nih, masa teteh pake softex. NO WAY!"
"iya pake celana-nya."
"OGAH!"
"gimana sih, nanti kamu kemana-mana darah-nya! kamu udah dapet tuh! tadi tuh bukan pup di celana, itu tu darah kamu Mens!"

setelah semua omongan nyokap gue masuk ke kuping dan dicerna oleh otak, gue langsung mewek, "ga mungkiiiiiiiin, masa teteh Mens?"
nyokap gue cengo ngeliat anaknya langsung nangis histeris.
"loh, kamu kan perempuan, ya pasti Mens-lah. namanya kamu itu udah gede, solatnya gak boleh ditinggal lagi!"
gue masih ngejer, "tapi teteh kan belum punya suamiiiiiiiiiiiiiiiii...."
"ye, gimana sih, Mens dulu lah, baru bisa punya suami!"
"tapi kan teteh belum mau punya suamiiiiiiiiiiiiii........."
nyokap gue tambah cengo, "siapa yang nyuruh kamu punya suami sekarang?"
gue masih belum berenti nangis.
karena pusing, akhirnya nyokap gue narik gue masuk ke kamar dan makein gue celana.

seperti habis terkena musibah yang sangat berat, hari Minggu itu, dengan mata sembab, gue gak mau keluar rumah untuk main. kerjaan gue cuma duduk, gak mau bangun. soalnya softex itu nge ganjel banget, dan gue ngerasa sedang terjangkit penyakit aneh. setiap gue mau pipis, gue tahan, soalnya gue gak kuat banget ngeliat tumpukan darah yang ada diatas softex gue *mudah-mudahan lo bener-bener lagi gak makan ya pas baca blog ini.

 menjelang sore, nyokap gue pulang bawa nasi kuning, ditambah datengnya tante-tante gue.
"ada apa ini?"
sampe akhirnya, tante gue ngejelasin semua-nya tentang yang namanya Menstruasi. dan dari situ, gue gak murung lagi dan gak ngerasa gue sedang terjangkit penyakit memalukan.

dan besoknya, dengan kesadaran sendiri, gue pasang softex diatas celana gue.
sampe sarapan, gue ngerasa sesuatu yang gak enak nempel-nempel di bagian terlarang gue.
terus nyamperin mama, sambil jalan ngengkang, nahan sakit yang berada di bagian terlarang itu.

"mama, itu teteh sakit."
nyokap gue jawab, "gak apa-apa, biasa kalo lagi dapet itu sakit."
eh gila, tersiksa banget dong gue? kemaren gak sesakit ini deh. ya masa iya gue jalannya harus ngengkang terus?
akhirnya gue narik nyokap gue ke kamar, dan pas di check sama nyokap gue, tau-tau nyokap gue mukul gue, "ya iyalah sakit, ini kamu pasang softex-nya kebalik! yang bagian lem-nya itu di bawah, yang gak ada lem-nya baru diatas! gimana sih???????????"