Minggu, 17 Juni 2012

Cerpen 20: “Aku sayang kamu, Shandi. Happy Anniversary..”

“Aku gak menyesali keputusanmu untuk sendiri dan memutuskan hubungan ini, karena aku sadar suatu saat nanti kamu akan tau siapa yang benar-benar menyayangimu”

Coretan-coretan yang sama sekali tak pernah tersentuh oleh sosok yang selalu hadir di pikiranku. Ya, memang sosok itu kini bukanlah siapa-siapa dalam hidupku. Dulu, sosok itu nyata, sosok itu hadir, sosok itu menemani, setia, selalu ada. Ya, dulu, dulu dan dulu. Tak bisa ku pungkiri dulu memang indah, bukannya aku tak mau melupakan semuanya, tapi sosok itu sudah terlalu dalam masuk ke hatiku. Ini salah siapa? Salahmu? Tentu saja bukan, mana mungkin aku menyalahkan sosok orang yang sampai sekarang menjadi semangat disetiap nafasku. Ini salahku, salahku yang terlalu sayang, salahku yang terlalu berharap lebih jauh, salahku yang terlalu menginginkan untuk selalu bersamamu. Maaf, aku bukan pelupa yang hebat. Kamu sudah terlalu lama ada disini, dan sampai saat ini belum tercetus niatku untuk melupakan dan membuang semua cerita antara aku dan kamu, dulu.

Kenapa? Kenapa semuanya harus seperti ini? Aku tau, kamu sudah memutuskan semuanya, kamu sudah lupakan semuanya. Tapi, tak begitu denganku. Meskipun aku tau, kamu disana sudah bersama yang lain, bersamanya yang selalu bisa mengembangkan senyummu. Sementara aku, aku masih tetap tegar bersama sifat munafikku. Aku masih berusaha tersenyum dan berpura-pura kalau aku ikut bahagia dalam kebahagiaanmu bersamanya. Tak mengapa bagiku, melihatmu tersenyum bersamanya saja, aku sudah cukup senang. Bagaimana kalau aku yang ada diposisinya sekarang? Kamu bisa bayangkan betapa bahagianya aku.

Ah, kenapa kamu terus mendominasi otakku? Padahal sudah 6 bulan lamanya kamu pergi dan memutuskan semuanya. Rasanya baru kemarin kamu bilang kalau kamu menyayangiku dan menginginkan aku untuk menjadi kekasihmu. Ya, baru kemarin. Andai aku mampu lebih sabar menahan egoismu. Tapi kalau terus menerus aku yang bersabar, bukan cinta namanya. Karena yang kutau cinta itu adalah dua perasaan yang disatukan. Sedangkan kita? Apa pernah kamu menahanku saat aku tengah marah? Jadi, ya kalau dipikir-pikir semuanya lebih baik diputuskan walaupun penyesalan dan rasa rindu itu datang.

“Happy Anniversary 1 tahun ya, sayang”Pesan singkatku yang kutujukan untuk Rena, seorang wanita yang sampai sekarang masih melekat dihatiku. Hari ini, 07 Desember 2009 adalah hari jadiku dengan Rena. Aku masih mengganggap tanggal itu sebagai hari jadi aku dan Rena. Sudah hampir 6 bulan ini, aku merayakan hari jadi kita seorang diri. Ya, mau gimana lagi? Mengharapkanmu? Aku rasa itu mustahil, jangankan merayakannya, membalas pesanku saja kamu sudah enggan. Air mataku menetes kala membaca balasan pesan dari Rena.

“Ada apa lagi sih, Shandi? Kita tuh udah putus, knp lo terus-terusan ngucapin anniv? Pecuma! Gue juga udh ada pengganti lo. Please, lupain gue”

Ya Tuhan, haruskah air mata ini selalu menemani setiap hari jadiku dengannya? Kapan semuanya akan berakhir? Kapan aku akan berhenti mengharapkannya? Kapan aku akan berhenti melupakan hari jadi ini? Aku terlalu lemah untuk melupakan itu, karena itu sudah terlalu dalam masuk ke otakku.
Haruskah aku terus menerus menampakkan senyuman palsu di depannya bersama kekasih barunya? Tanpa pernah kekasihnya tau, aku masih merindukan sosok yang sekarang menjadi kekasihnya. Aku masih merindukan kekasihmu yang dulu menjadi kekasihku.

“Aku gak bisa, Ren. Aku tau semuanya salah aku, tp apa hrs putus? Aku selalu sabar ngadepin sifat kamu yg selalu marah-marah sama aku. Kenapa kamu gak prnh ada usaha sedikit untuk mempertahankan hubungan ini? Aku udh coba untuk lupa, tapi gak bisa. Tolong ajarin aku, bagaimana caranya untuk benci sama kamu, karena kamu cuma ngasih tau aku bagaimana caranya untuk sayang sama kamu”

Rena membalas pesanku.

“Apa yg harus dipertahankan, Shen? Gak ada. Lo sendiri yg blng kalo sifat gue ini kayak anak-anak. Terus kenapa lo skrg malah mohon-mohon untuk kembali seperti dulu? Gak bisa, dan gak akan pernah bisa. Gue udh sama org lain skrg, please pergi dari gue, Shen. Lupain gue”
Aku menangis tersedu-sedu sambil membaca pesan Rena, aku mengurungkan niatku untuk membalasnya. Ku tiup lilin yang masih abadi menempel diatas kue muffin yang tak terlalu besar ini, dulu kita selalu meniup ini berdua. Namun sekarang, aku hanya sendiri. Dan aku sudah terbiasa dengan kondisi ini. Aku lelah menyayangi disatu pihak, aku lelah merindukanmu yang merindukannya. Tapi semua rasa lelah itu perlahan terbayar ketika aku ingat semua kenangan indah yang pernah kita lalui berdua.

***

Sementara itu di tempat yang berbeda...

“Gue nggak tega ngelihat Shandi terus-terusan sms gue ngucapin anniversary disetiap tanggal 7, Yud. Gue gak tega dia nangis..” Rena menceritakan keluh kesahnya kepada sahabatnya, Yudi.
“Dia sayang banget sama lo, Ren. Harusnya lo bisa sadarin itu. Tapi kenapa lo gak balikan sama dia?”
“Gue tau, gue gak baik buat dia, Yud. Dia terlalu baik buat gue..”
“Eh kalo dia terlalu baik buat lo, harusnya lo bisa jadi yang terbaik buat dia!”
“Ya, karena gue sadar gue gak bisa jadi yang terbaik buat dia, makanya gue mundur..”
“Mutusin dia dengan alasan yang biasa aja gitu? Lo nyiksa dia, Ren. Gue ingetin ya, selama masih ada umur, lo gunain sebaik-baiknya. Jangan sampai semuanya terkejar takdir..”
 
Rena terdiam.
 
“Takdir?” gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba saja Raka, kekasih Rena meneleponnya.
“Halo, sayang..”
“Iya, ada apa?”
“Kamu sibuk gak hari ini? Nonton yuk? Ada film bagus loh..”
“Aku gak mood, ngantuk. Mau tidur. Bye..”
“Eh tapi..”
 
Klik.

Nampaknya Rena tengah dirundung kegalauan.  Sebenarnya jauh di lubuk hatinya, Shandi masih ada. Shandi masih berkuasa disana. Tapi sayang, Rena selalu berpikir kalau Shandi adalah sosok lelaki yang tak pantas untuknya. Karena selama dengannya, Shandi sering mengeluh karena sifatnya. Ya, ia pun menyadari kalau sifatnya terlalu egois dan ia kurang bisa menahan emosinya. Dan hanya Shandi lah yang mampu mengendalikan semuanya. Tapi maaf Shandi, aku tak mau melukaimu terlalu dalam. Aku tak mau membuatmu terus menerus bersedih, aku harap kamu akan mengerti. Butuh waktu memang, aku tau kamu mampu melewati waktu itu.

Ini adalah bukan kali pertama Shandi selalu mengucapkan anniversary kepadaku. Setiap tanggal 7, ia selalu mengucapkannya. Walaupun dia sendiri tau, anniversary itu lebih tepatnya disebut “Failed Anniversary” , karena sudah tak ada lagi status hubungan antara kita. Sedih setiap kali membaca smsnya, meskipun aku selalu berpura-pura marah ketika mengetik balasan untuk pesanmu.
***

6 Desember 2011 .

“Happy Anniversary 2 tahun ya, sayang. Semoga kebahagiaan selalu menemani kamu, semoga senyumanmu selalu terukir indah. Aku sayang banget sama kamu. Jaga diri baik-baik ya, Rena”
Rena menyeritkan keningnya. Kemudian menoleh ke arah kalender.
“Hah? Ini kan tanggal 6. Kok Shandi udah ngucapin anniv?”
 
Rena membalas pesan Shandi.

“Skrg tanggal 6, Shen? Kok udh ngucapin anniv?”

Shandi membalas.

“Takut gak sempet aja, aku mau tidur dulu ya. Bye, Rena sayang”

Rena hanya membaca pesan dari Shandi tanpa membalasnya. Hati Rena semakin tak menentu, kenapa? Apa yang tengah terjadi? Kenapa Shandi bertingkah seperti ini? “Ah mungkin Shandi tengah bercanda saja..” gumamnya.

Sementara itu di rumah Shandi..

“Gak tau kenapa aku lagi seneng banget pake kemeja putih ini, Mah..” kata Shandi sambil memamerkan kemeja putih yang baru saja dibelinya.
“Oh iya, tumben banget kamu mau pake kemeja warna putih. Beli dimana, sayang?” tanya mama.
“Tadi beli di mall deket kampus, Mah. Lumayan lagi diskon, gak terlalu mahal. Oh iya, aku juga beli buat mama loh..” Shandi menyerahkan kotak yang isinya gaun untuk mamanya tercinta.
“Wah, bagus sekali. Terima kasih ya, Shandi..” kata mama ketika melihat gaun yang ada di kotak itu.
“Sama-sama, Mah. Di pake loh ya..”

Dua hari ini, Shandi lebih senang mengoleksi benda-benda bewarna putih. Entah apa maksudnya, mamanya pun sedikit bingung. Karena sedari dulu, Shandi tak menyukai warna putih dan lebih menyukai warna-warna yang lebih cerah lainnya.

***

7 Desember  2011

“Mah, Shandi berangkat ke kampus ya. Ini ada uang buat mama, lumayan buat nambah-nambah belanja..” kata Shandi saat hendak sarapan bersama sang mama di meja makan.
“Loh? Kamu dapat uang darimana?”
“Shandi kan kerja sambilan, Mah. Ya, emang sih gak seberapa. Tapi ya itu buat mama...”
“Ya ampun. Gak usah, sayang. Ini buat Shandi  aja disimpen..”
“Gak, pokoknya mama harus terima itu. Please, Mah..” Shandi memohon.
“Iya iya, terima kasih loh sayang. Kamu cepat sana ke kampus, nanti terlambat..”
 
Shandi melirik ke arah jam tangannya dan ternyata benar saja. Ia hampir terlambat, ia pun bergegas  pergi ke kampusnya.

“Shandi berangkat ya, Mah. Baik-baik dirumah..” Shandi mencium kening mamanya.
“Iya, sayang. Hati-hati ya..”

Shandi segera naik ke motornya, lalu menancapkan gas. Sambil bersiul-siul, ia mengendarai motor dengan santainya. Tapi ternyata santainya Shandi di pagi ini bukan awal yang indah untuknya. Saat melintasi jalan raya yang cukup besar, sebuah mobil yang tengah melaju sangat kencang menyerempetnya dan akhirnya Shandi jatuh beserta motor yang menimpa badannya. Naas bersamaan dengan itu, sebuah mobil dari arah yang berlawanan menerjang Shandi beserta motornya. Dan habislah Shandi. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Shandi mati seketika, cardigan putihnya berlumuran darah yang terus menetes dari sekujur tubuhnya. Semua orang mendekatinya lalu membawa Shandi yang sudah tidak bernyawa itu menuju rumah sait terdekat. Beberapa orang lainnya berusaha mencari informasi tentang keluarga Shandi. Salah seorang menemukan handphone Shandi lalu mengecek nomor telepon terakhir yang dihubungi Shandi dan ternyata itu adalah nomor handphone Rena.

“Halo..” terdengar suara Rena.
“Halo, Mbak. Ini yang punya handphone kecelakaan..”
“Hah? Kecelakaan? Dimana?” suara Rena terdengar sangat panik.
“Di jalan Agung Gede, Mbak. Sekarang masnya udah dibawa ke rumah sakit Sejahtera..”
“Oke, saya langsung ke rumah sakit. Mas tolong bawa handphonenya ke rumah sakit ya, terima kasih..”
 
Klik.

Tanpa menunggu waktu lama, Rena langsung mengambil kunci mobilnya lalu segera menuju ke rumah Shandi untuk menjemput mamanya. Dengan panik ia mengendarai motornya dengan kencang. Sesampainya di rumah Shandi.

“Ma, ayo ikut Rena..”
“Loh? Rena? Ada apa? Kok buru-buru?”
“Ayo, Mah! Cepetan! Shandi kecelakaan!”

Mama Shandi diam kemudian air matanya menetes. Rena langsung menarik tangan mama Shandi dan segera memboncengnya. Mama Shandi masih diam dan hanya mampu menangis, Rena mengendarai motornya dengan cepat. Dan kemudian tibalah mereka di depan rumah sakit Sejahtera. Rena langsung menuju ke bagian informasi untuk menanyakan dimana Shandi berada.

“Suster, ada yang baru aja kecelakaan ? Dimana ruangannya?” tanya Rena panik.
“Oh iya, 20 menit yang lalu. Sekarang pasien masih di ruang UGD, bisa langsung ke sana, Mas..” suster menunjukkan letak ruang UGD. Aku menuntun mama Shandi yang terlihat semakin lemas.
“Mama duduk sini dulu ya..” kata Rena lalu menyuruh mama Shandi duduk di depan ruang UGD.
Kemudian datang seorang pemuda.
“Mbak, keluarganya yang kecelakaan ini ya?”
“Iya, Mas. Gimana kabar pacar saya?”
“Masnya masih di dalam, Mbak. Oh iya, ini handphone sama dompet yang tadi saya temukan tergeletak dipinggir jalan..”  katanya sambil menyerahkan dompet dan handphone milik Shandi.
“Terima kasih, Mas..”

Beberapa saat kemudian seorang dokter keluar dari ruangan UGD. Rena langsung menghampirinya.
 
“Dok, gimana keadaan pacar saya? Baik-baik aja kan?”
“Maafkan saya, saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa korban. Namun sayang, kepalanya hancur dan tak bisa diselamatkan lagi. Tabah ya..” kata Dokter sambil menepuk pundak Rena.

Air mata Rena menetes dengan derasnya. Kemudian mama Shandi datang menghampiri.
 
“Gimana Shandi, Ren?”
 
Rena hanya diam, tak mengucap sepatah katapun. Rena hanya menangis, kemudian Dokter berusaha memberitahu kondisi Shandi saat ini kepada mama Shandi.
Kaki Rena seakan lemas seketika, ia terus menerus menanggil nama Shandi, Shandi dan Shandi. Ia pun berlari masuk ke dalam ruang UGD, dan apa yang dilihatnya? Shandi tertidur dengan muka yang sudah hancur. Rena mendekatinya, lalu mencium tangannya. Air mata Rena semakin menjadi-jadi kala ia ingat sehari  yang lalu Shandi telah mengucapkan anniversary terlebih dulu padahal hari ini adalah anniversary mereka. Shandi bilang, ia takut tak akan sempat mengucapkannya hari ini jadi ia ucapkannya sehari sebelumnya.

“Shandi, kenapa harus kayak gini?” gumamnya sambil terus memperhatikan wajah Shandi yang sudah nampak bukanlah Shandi.

Mama Shandi masuk ke ruangan dengan tangis yang menjadi-jadi, ia menciumi pipi Shandi yang nampak sedikit masih utuh. Sepertinya mama Shandi terlihat lebih tegar dibanding Rena. Mama Shandi membiarkan jenazah Shandi dibersihkan di rumah sakit ini.
Siang harinya, jenazah Shandi dimakamkan. Setelah pemakaman, mama Shandi menceritakan semua sifat Shandi yang aneh selama dua hari ini kepada Rena. Dari mulai Shandi yang senang memakai kemeja bewarna putih, lalu tadi pagi Shandi juga sempat memberikan mamanya uang yang tak terlalu banyak.

Kemudian entah kenapa Rena seakan-akan terpanggil untuk masuk ke kamar Shandi. Dan ternyata kamar Shandi sudah di dominasi oleh warna putih, warna yang sebenarnya bukanlah warna kesukaan Shandi. Foto-fotonya bersama Rena masih terpampang rapi di dinding kamarnya. Rena tak kuasa menahan tangis, ia menangis sejadi-jadinya sambil terus menyesalkan perbuatannya selama ini. kenapa? Kenapa aku harus kehilangan sosok orang yang ternyata benar-benar mencintaiku? Dan kenapa disaat semua ini terungkap, aku hanya mampu menatap fotonya. Aku hanya mampu menatap tubuhnya yang sudah terbujur kaku dan sekarang telah kembali kepada Tuhan.

Raka, kekasih Rena sepertinya mengerti perasaan Rena saat ini. Raka pun tak lagi memaksa Rena untuk selalu menemaninya, bahkan ia tak akan memaksa Rena untuk menyayanginya lagi. Karena ia sadar gadis yang dicintai Rena hanyalah Shandi dan bukan dirinya.

Malamnya, Rena duduk di depan rumahnya sambil terus memperhatikan foto Shandi.
 
“Aku sayang kamu, Shandi. Happy Anniversary..” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar